Ketua KPU DKI Resmi Ditahan
Jakarta-ASPRA,
Ketua Komisi Pemilihan Umum
DKI Jakarta Muhammad Taufik resmi ditahan di ruang tahanan Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/6) malam. Taufik ditahan setelah
menjalani pemeriksaan selama sepuluh jam oleh Tim Penyidik Kejaksaan
Tinggi Jakarta. Penahanan ini menyusul ditetapkannya Taufik sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi Rp 4,2 miliar di KPU DKI.
Menurut kuasa hukum M. Taufik, Sapriyanto Refa, sebenarnya tak ada alasan yang jelas mengenai penahanan kliennya. Penahanan kliennya sejak 9 hingga 28 Juni ini juga terkesan dipaksakan. Pasalnya, dari 24 pertanyaan yang diajukan tim penyidik tidak satupun yang mengarah adanya korupsi yang melibatkan Taufik.
Pihak Kejati Jakarta meralat berita mengenai adanya upaya paksa menjemput Taufik dari Rumah Sakit Agung, Manggarai, Jaksel, tadi pagi. Tersangka ternyata datang dengan sukarela. Dengan penahanan Taufik ini, Kejati DKI sejauh ini sudah menahan tiga tersangka kasus dugaan korupsi di KPU DKI. Sebelumnya dua tersangka lainnya, yakni Bendahara KPU DKI Neneng Euis Palupi dan anggota KPU A. Riza Patria juga sudah ditahan. Neneng kini dikurung di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sejak Selasa silam. Sedangkan Riza menjadi tahanan Kejati Jakarta
Menurut kuasa hukum M. Taufik, Sapriyanto Refa, sebenarnya tak ada alasan yang jelas mengenai penahanan kliennya. Penahanan kliennya sejak 9 hingga 28 Juni ini juga terkesan dipaksakan. Pasalnya, dari 24 pertanyaan yang diajukan tim penyidik tidak satupun yang mengarah adanya korupsi yang melibatkan Taufik.
Pihak Kejati Jakarta meralat berita mengenai adanya upaya paksa menjemput Taufik dari Rumah Sakit Agung, Manggarai, Jaksel, tadi pagi. Tersangka ternyata datang dengan sukarela. Dengan penahanan Taufik ini, Kejati DKI sejauh ini sudah menahan tiga tersangka kasus dugaan korupsi di KPU DKI. Sebelumnya dua tersangka lainnya, yakni Bendahara KPU DKI Neneng Euis Palupi dan anggota KPU A. Riza Patria juga sudah ditahan. Neneng kini dikurung di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sejak Selasa silam. Sedangkan Riza menjadi tahanan Kejati Jakarta
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi ini bermula dari temuan Komisi A DPRD DKI tentang kejanggalan anggaran KPU Jakarta dan hasil pemeriksaan auditor Badan Pemeriksaan Keuangan. Di antaranya biaya sewa tiga rumah untuk sekretariat KPU di Kepulauan Seribu sebesar Rp 170 juta per tahun.
Dari pantauan SCTV di Pulau Pramuka, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Ada empat rumah yang disewa oleh KPUD di pulau tersebut. Rumah itu disewa sebagai kantor dan gudang. Penampilan fisik dari empat rumah tersebut tidak jauh berbeda dengan rumah biasa. Masing-masing rumah memiliki luas tanah tidak lebih dari 300 meter persegi.
Musleh, pemilik dua dari empat rumah yang disewa KPU DKI, mengaku menyewakan rumahnya seharga Rp 6 juta per tahun. Musleh menegaskan harga sewa itu adalah harga yang cukup tinggi bagi pemilik rumah di Pulau Pramuka. Menurut Musleh, tidak mungkin sebuah rumah di sana disewakan dengan harga lebih dari Rp 6 juta per tahun. Musleh menaksir, harga empat rumah yang disewa KPU DKI itu tidak akan lebih dari Rp 25 juta.
Rachmawati Kembali Desak KPK Ungkap Korupsi Era Megawati
Jakarta - ASPRA,
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) didesak untuk segera memproses kasus korupsi yang terjadi
pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Dan lagi-lagi desakan itu
justeru datang dari adik Megawati sendiri Rachmawati Soekarnoputri. Apa
yang terjadi antara dua putri Bung Karno ini?
"Kalau kita bicara tentang korupsi, negara rugi ratusan triliun.
Kalau KPK jujur dan adil tentunya tidak akan tebang pilih. Makanya,
proses itu (kasus BLBI)," kata Rachmawati di kediamannya, Jati Padang,
Jakarta Selatan, Rabu (6/8/2014).
Rachmawati juga mendesak komisi anti-riswah ini untuk mengusut kasus
penjualan 12 aset negara kepada pihak asing. "KPK harus berani
mengungkap dosa era Megawati, jangan tebang pilih," tegasnya.
Ketua KPK Abraham Samad sendiri mengaku pihaknya tak takut memanggil
Megawati guna dimintai keterangannya. KPK, kata Abraham, tak terpengaruh
meski kader PDIP, Joko Widodo alias Jokowi saat ini merupakan Presiden
terpilih pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014.
"Tidak ada kendala psikologis KPK periksa siapa saja, Megawati kan
bukan Presiden, Presiden pun kalau diperlukan, kami akan panggil," kata
Abraham.
Keberanian KPK, kata dia, sudah dibuktikan dengan meminta keterangan
Wakil Presiden, Boediono dan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla terkait
kasus Bank Century. Abraham menambahkan dengan melakukan ekspos nantinya
maka akan terungkap apakah kasus BLBI ini bisa ditingkatkan ke
penyidikan atau tidak.
"Ini sudah dibuktikan pemeriksaan Boediono dan JK (Jusuf Kalla). Dari
ekspos nanti baru bisa dipetakan kasus ini bisa ditingkatkan ke
penyidikan atau belum," kata Abraham.
Juru Bicara KPK, Johan Budi SP menyangkut kasus SKL BLBI ini pada
April 2013 lalu pernah menjelaskan bahwa KPK tengah mengadakan upaya
penyelidikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi terkait SKL BLBI.
KPK menduga adanya tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan SKL
tersebut. SKL sendiri diterbitkan saat Megawati Soekarnoputri menduduki
kursi Presiden RI.
”Penyelidikan tentang adanya penyalahgunaan SKL untuk melihat apakah
dalam proses SKL itu, kepada yang menerima SKL itu ada dugaan tindak
pidana atau tidak," kata Johan Budi.
Dalam kaitan penyelidikan itu, KPK pun sudah meminta keterangan
mantan Menko Perekenomian Rizal Ramli dan mantan Menkeu, Bambang
Subianto. Kedua mantan Menteri itu sambung Johan dimintai keterangan
oleh penyidik KPK seputar proses penerbitan SKL dalam kaitan
penyelesaian kasus BLBI.
"Pak Rizal dan Pak Bambang diminta keterangan berkaitan pemberian SKL penyelesaian kasus BLBI," ujarnya.
Pihak lain yang sudah dimintai keterangan adalah mantan Menteri
Perekonomian, Kwik Kian Gie, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Laksamana Sukardi.
Ketika dipimpin Antasari Azhar, KPK sendiri pernah melakukan
pengusutan kasus BLBI. Pengusutan utamanya mengenai potensi terjadinya
penyimpangan yang dilakukan oknum pejabat terkait penerbitan SKL. Saat
itu, Antasari Azhar menilai, apabila terdapat proses SKL yang menyalahi
ketentuan maka KPK akan mengeluarkan rekomendasi agar kasus itu dibuka
lagi.
Sementara itu diketahui, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
mengeluarkan SKL dengan didasari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
tahun 2002. Inpres itu sendiri populer dengan sebutan Inpres Release dan
Discharge yang berisi pemberian jaminan kepastian hukum terhadap
debitur yang telah menuntaskan kewajibannya. Akan tetapi, SKL juga
menyebut adanya tindakan hukum kepada debitur yang diketahui tidak
menyelesaikan kewajibannya. Hal itu didasari oleh penyelesaian kewajiban
pemegang saham.
Sementara itu dari informasi dihimpun, penerima SKL BLBI antara lain,
pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim,
pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, Salim Group, dimana
terungkap utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari
Rp55 triliun rupiah.
Akan tetapi dua tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang
diserahkan hanya bernilai Rp30 triliun. Berikutnya James Sujono
Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan
kewajiban sebesar Rp303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian,
Rp424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara, Rp189,039 miliar),
Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa, Rp790,557 miliar), Omar
Putihrai (Bank Tamara, Rp159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira,
kewajiban membayar Rp155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan
Istimarat, Rp577,812 miliar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar