Sabtu, 09 Agustus 2014

Hukum & Kriminal

Ketua KPU DKI Resmi Ditahan

090605dMTaufik.jpg
 
Jakarta-ASPRA,
Ketua Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta Muhammad Taufik resmi ditahan di ruang tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/6) malam. Taufik ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama sepuluh jam oleh Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Jakarta. Penahanan ini menyusul ditetapkannya Taufik sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Rp 4,2 miliar di KPU DKI.

Menurut kuasa hukum M. Taufik, Sapriyanto Refa, sebenarnya tak ada alasan yang jelas mengenai penahanan kliennya. Penahanan kliennya sejak 9 hingga 28 Juni ini juga terkesan dipaksakan. Pasalnya, dari 24 pertanyaan yang diajukan tim penyidik tidak satupun yang mengarah adanya korupsi yang melibatkan Taufik.

Pihak Kejati Jakarta meralat berita mengenai adanya upaya paksa menjemput Taufik dari Rumah Sakit Agung, Manggarai, Jaksel, tadi pagi. Tersangka ternyata datang dengan sukarela. Dengan penahanan Taufik ini, Kejati DKI sejauh ini sudah menahan tiga tersangka kasus dugaan korupsi di KPU DKI. Sebelumnya dua tersangka lainnya, yakni Bendahara KPU DKI Neneng Euis Palupi dan anggota KPU A. Riza Patria juga sudah ditahan. Neneng kini dikurung di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sejak Selasa silam. Sedangkan Riza menjadi tahanan Kejati Jakarta 

Terbongkarnya kasus dugaan korupsi ini bermula dari temuan Komisi A DPRD DKI tentang kejanggalan anggaran KPU Jakarta dan hasil pemeriksaan auditor Badan Pemeriksaan Keuangan. Di antaranya biaya sewa tiga rumah untuk sekretariat KPU di Kepulauan Seribu sebesar Rp 170 juta per tahun.

Dari pantauan SCTV di Pulau Pramuka, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Ada empat rumah yang disewa oleh KPUD di pulau tersebut. Rumah itu disewa sebagai kantor dan gudang. Penampilan fisik dari empat rumah tersebut tidak jauh berbeda dengan rumah biasa. Masing-masing rumah memiliki luas tanah tidak lebih dari 300 meter persegi.

Musleh, pemilik dua dari empat rumah yang disewa KPU DKI, mengaku menyewakan rumahnya seharga Rp 6 juta per tahun. Musleh menegaskan harga sewa itu adalah harga yang cukup tinggi bagi pemilik rumah di Pulau Pramuka. Menurut Musleh, tidak mungkin sebuah rumah di sana disewakan dengan harga lebih dari Rp 6 juta per tahun. Musleh menaksir, harga empat rumah yang disewa KPU DKI itu tidak akan lebih dari Rp 25 juta.


Rachmawati Kembali Desak KPK Ungkap Korupsi Era Megawati
   

Jakarta - ASPRA,
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk segera memproses kasus korupsi yang terjadi pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Dan lagi-lagi desakan itu justeru datang dari adik Megawati sendiri Rachmawati Soekarnoputri. Apa yang terjadi antara dua putri Bung Karno ini?

"Kalau kita bicara tentang korupsi, negara rugi ratusan triliun. Kalau KPK jujur dan adil tentunya tidak akan tebang pilih. Makanya, proses itu (kasus BLBI)," kata Rachmawati di kediamannya, Jati Padang, Jakarta Selatan, Rabu (6/8/2014).

Rachmawati  juga mendesak komisi anti-riswah ini untuk mengusut kasus penjualan 12 aset negara kepada pihak asing. "KPK harus berani mengungkap dosa era Megawati, jangan tebang pilih," tegasnya.

Ketua KPK Abraham Samad sendiri mengaku pihaknya tak takut memanggil Megawati guna dimintai keterangannya. KPK, kata Abraham, tak terpengaruh meski kader PDIP, Joko Widodo alias Jokowi saat ini merupakan Presiden terpilih pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014.

"Tidak ada kendala psikologis KPK periksa siapa saja, Megawati kan bukan Presiden, Presiden pun kalau diperlukan, kami akan panggil," kata Abraham.

Keberanian KPK, kata dia, sudah dibuktikan dengan meminta keterangan Wakil Presiden, Boediono dan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla terkait kasus Bank Century. Abraham menambahkan dengan melakukan ekspos nantinya maka akan terungkap apakah kasus BLBI ini bisa ditingkatkan ke penyidikan atau tidak.

"Ini sudah dibuktikan pemeriksaan Boediono dan JK (Jusuf Kalla). Dari ekspos nanti baru bisa dipetakan kasus ini bisa ditingkatkan ke penyidikan atau belum," kata Abraham.

Juru Bicara KPK, Johan Budi SP menyangkut kasus SKL BLBI ini pada April 2013 lalu pernah menjelaskan bahwa KPK tengah mengadakan upaya penyelidikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi terkait SKL BLBI. KPK menduga adanya tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan SKL tersebut. SKL sendiri diterbitkan saat Megawati Soekarnoputri menduduki kursi Presiden RI.

”Penyelidikan tentang adanya penyalahgunaan SKL untuk melihat apakah dalam proses SKL itu, kepada yang menerima SKL itu ada dugaan tindak pidana atau tidak," kata Johan Budi.

Dalam kaitan penyelidikan itu, KPK pun sudah meminta keterangan mantan Menko Perekenomian Rizal Ramli dan mantan Menkeu, Bambang Subianto. Kedua mantan Menteri itu sambung Johan dimintai keterangan oleh penyidik KPK seputar proses penerbitan SKL dalam kaitan penyelesaian kasus BLBI.
"Pak Rizal dan Pak Bambang diminta keterangan berkaitan pemberian SKL penyelesaian kasus BLBI," ujarnya.

Pihak lain yang sudah dimintai keterangan adalah mantan Menteri Perekonomian, Kwik Kian Gie, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi.

Ketika dipimpin Antasari Azhar, KPK sendiri pernah melakukan pengusutan kasus BLBI. Pengusutan utamanya mengenai potensi terjadinya penyimpangan yang dilakukan oknum pejabat terkait penerbitan SKL. Saat itu, Antasari Azhar menilai, apabila terdapat proses SKL yang menyalahi ketentuan maka KPK akan mengeluarkan rekomendasi agar kasus itu dibuka lagi.

Sementara itu diketahui, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan SKL dengan didasari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002. Inpres itu sendiri populer dengan sebutan Inpres Release dan Discharge yang berisi pemberian jaminan kepastian hukum terhadap debitur yang telah menuntaskan kewajibannya. Akan tetapi, SKL juga menyebut adanya tindakan hukum kepada debitur yang diketahui tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal itu didasari oleh penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Sementara itu dari informasi dihimpun, penerima SKL BLBI antara lain, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, Salim Group, dimana terungkap utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari Rp55 triliun rupiah.

Akan tetapi dua tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan hanya bernilai Rp30 triliun. Berikutnya James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban sebesar Rp303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian, Rp424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara, Rp189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa, Rp790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara, Rp159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira, kewajiban membayar Rp155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat, Rp577,812 miliar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar