Minggu, 09 November 2014

Kasus TKI di Sarawak, Malaysia banyak yang terabaikan oleh Konsulat di Kucing


Foto ilustrasi

Kucing-ASPRA,
WARGA negara indonesia yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai lapangan kerja di Malaysia, merasa tidak adanya perlindungan hukum dari Negara Indonesia, jika terjadi kasus hukum yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Sebagaimana contoh kasus penangkapan TKI oleh Polisi Diraja Malaysia di berbagai kawasan kerja di Sarawak Malaysia, walaupun hanya sekedar ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, berbuntut dengan dilakukannya panahanan selama tiga bulan, yang dianggap para TKI sangatlah merugikan mereka.

Kasus penangkapan yang terjadi di proyek perumahan Malaysia 1 di Sungai Rait Miri, yang terjadi 4 bulan yang silam, di saat sedang asyiknya mereka bekerja, digerebek oleh polisi dan Imigrasi Malaysia.

Dikonfirmasi atas kejadian tersebut kepada kawan dekat TKI asal Lombok, NTB bernama Paci Ahmad mengatakan, awal kami kerja sama toke Afing, dijanjikan permik kerja, namun hingga saat ini pun belum ada yang diberikan visa untuk kerja.

Toke Afing selaku majikan setelah dimintai keterangan mengatakan, kenapa harus takut kerja, saya bayar polisi dan imigrasi RM. 5000, untuk mengamankan terlaksananya proyek tersebut.

Namun apa yang diutarakan Paci Wahyu sangat jauh api dari panggang, di mana para TKI yang bekerja di Sungai Rait Miri, dalam seminggu disatroni oleh polisi dan imigrasi, jika hal itu terjadi, maka ratusan pekerja yang terdiri dari negara Pakistan, India dan Indonesia, lari terbirit-birit masuk ke hutan untuk menyelamatkan diri.

Contoh kasus yang lain dari TKI kita yang kerja di perladangan sawit, Resky asal Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tempat kerja di Sarawak Plantation Ladang 3 Subis, sudah 6 bulan kerja, namun belum juga mendapatkan visa kerja, hingga terjadinya kasus penangkapan oleh polisi Malaysia.

Kedua orang tua Resky yang juga pekerja di Sarawak Plantation mengatakan, “Perusahaan atau lembaga di mana dia bekerja, sangat tidak adil, di mana kami bekerja sudah hampir setahun tidak sedikitpu perhatian dari pihak perusahaan menguruskan visa kerja buat kami,” urainya.

Kasus di atas sebagian kecil permasalahan TKI yang terjadi di Malaysia, walau pun hal ini sudah dilaporkan dan diketahui oleh Konsulat Jendral Indonesia di Kucing, Sarawak - Malaysia, namun tidak sedikitpun mendapat respon.

Syarifuddin Sultan selaku pemerhati atas kasus TKI di Malayasia mengatakan, “Kami melihat adanya pembiaran oleh Konjen Indonesia atas kasus ini, di mana keluhan para TKI terabaikan, mulai dari masalah penggajian yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja RM 800, namun hanya menerima RM. 300 per bulannya, sehingga TKI meninggalkan paspor dan tempat kerja, karena tidak mencukupi untuk biaya hidup selama kerja di ladang tersebut. Akhirnya, pindah ladang, namun ironisnya ladang lain pun mau menerimanya tampa ada rasa melakukan pelanggaran sedikitpun, yang akhirnya para TKI yang meninggalkan paspornya di ladang yang lama, dibuatkan paspor baru di Konjen Indonesia di Kucing Sarawak, Malaysia untuk digunakan di ladang yang baru,” terangnya.

Tidakkah kita curiga, jika ada persekongkolan antra Konjeng Iindonesia di Malaysia dengan para perusahaan atau lembaga yang mempekerjakan TKI kita, sementara hidup matinya ladang sawit di Malaysia ada pada para pekerja TKI di malaysia.

Perlu kiranya pemerintah Indonesia ketahui, pekerja ladang di Malaysia didominasi oleh TKI kita, jika TKI kita hengkang dan balik ke Indnesia, maka otomatis ladang yang di Malaysia akan amburadul, dalam artian mati segan hidup pun susah.

Namun jika para TKI kita balik kampung, maka pemerintah harus menyiapkan lapangan kerja buat mereka melalui dana devisa yang selama ini indonesia dapatkan dari malaysia. (S. Sultan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar