Foto ilustrasi |
WARGA negara indonesia yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai lapangan kerja di Malaysia, merasa tidak adanya perlindungan hukum dari Negara Indonesia, jika terjadi kasus hukum yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Sebagaimana contoh kasus
penangkapan TKI oleh Polisi Diraja Malaysia di berbagai kawasan kerja di Sarawak
Malaysia, walaupun hanya sekedar ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari,
berbuntut dengan dilakukannya panahanan selama tiga bulan, yang dianggap para
TKI sangatlah merugikan mereka.
Kasus penangkapan yang
terjadi di proyek perumahan Malaysia 1 di Sungai Rait Miri, yang terjadi 4
bulan yang silam, di saat sedang asyiknya mereka bekerja, digerebek oleh polisi
dan Imigrasi Malaysia.
Dikonfirmasi atas kejadian
tersebut kepada kawan dekat TKI asal Lombok, NTB bernama Paci Ahmad mengatakan,
awal kami kerja sama toke Afing, dijanjikan permik kerja, namun hingga saat ini
pun belum ada yang diberikan visa untuk kerja.
Toke Afing selaku
majikan setelah dimintai keterangan mengatakan, kenapa harus takut kerja, saya
bayar polisi dan imigrasi RM. 5000, untuk mengamankan terlaksananya proyek
tersebut.
Namun apa yang
diutarakan Paci Wahyu sangat jauh api dari panggang, di mana para TKI yang
bekerja di Sungai Rait Miri, dalam seminggu disatroni oleh polisi dan imigrasi,
jika hal itu terjadi, maka ratusan pekerja yang terdiri dari negara Pakistan, India
dan Indonesia, lari terbirit-birit masuk ke hutan untuk menyelamatkan diri.
Contoh kasus yang lain
dari TKI kita yang kerja di perladangan sawit, Resky asal Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan, tempat kerja di Sarawak Plantation Ladang 3 Subis, sudah 6 bulan
kerja, namun belum juga mendapatkan visa kerja, hingga terjadinya kasus
penangkapan oleh polisi Malaysia.
Kedua orang tua Resky
yang juga pekerja di Sarawak Plantation mengatakan, “Perusahaan atau lembaga di
mana dia bekerja, sangat tidak adil, di mana kami bekerja sudah hampir setahun
tidak sedikitpu perhatian dari pihak perusahaan menguruskan visa kerja buat
kami,” urainya.
Kasus di atas sebagian
kecil permasalahan TKI yang terjadi di Malaysia, walau pun hal ini sudah
dilaporkan dan diketahui oleh Konsulat Jendral Indonesia di Kucing, Sarawak - Malaysia,
namun tidak sedikitpun mendapat respon.
Syarifuddin Sultan
selaku pemerhati atas kasus TKI di Malayasia mengatakan, “Kami melihat adanya
pembiaran oleh Konjen Indonesia atas kasus ini, di mana keluhan para TKI
terabaikan, mulai dari masalah penggajian yang tidak sesuai dengan perjanjian
kerja RM 800, namun hanya menerima RM. 300 per bulannya, sehingga TKI
meninggalkan paspor dan tempat kerja, karena tidak mencukupi untuk biaya hidup
selama kerja di ladang tersebut. Akhirnya, pindah ladang, namun ironisnya
ladang lain pun mau menerimanya tampa ada rasa melakukan pelanggaran
sedikitpun, yang akhirnya para TKI yang meninggalkan paspornya di ladang yang
lama, dibuatkan paspor baru di Konjen Indonesia di Kucing Sarawak, Malaysia
untuk digunakan di ladang yang baru,” terangnya.
Tidakkah kita curiga,
jika ada persekongkolan antra Konjeng Iindonesia di Malaysia dengan para
perusahaan atau lembaga yang mempekerjakan TKI kita, sementara hidup matinya
ladang sawit di Malaysia ada pada para pekerja TKI di malaysia.
Perlu kiranya pemerintah
Indonesia ketahui, pekerja ladang di Malaysia didominasi oleh TKI kita, jika TKI
kita hengkang dan balik ke Indnesia, maka otomatis ladang yang di Malaysia akan
amburadul, dalam artian mati segan hidup pun susah.
Namun jika para TKI kita
balik kampung, maka pemerintah harus menyiapkan lapangan kerja buat mereka
melalui dana devisa yang selama ini indonesia dapatkan dari malaysia. (S. Sultan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar