Minggu, 09 November 2014

Masalah Kolom Agama di KTP bagi Penganut Penghayat



Semarang-ASPRA,
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyatakan pencatuman kolom agama di kartu tanda penduduk telah memicu beberapa persoalan bagi kelompok minoritas penganut penghayat. Di antaranya anak-anak penghayat kepercayaan yang kerap mendapat diskriminasi dalam pendidikan agama.

Dalam mata pelajaran agama, siswa penganut penghayat dipaksa mengikuti agama Islam. “Ini seperti mengadili keyakinan. Karena mereka penganut penghayat tapi diminta mengikuti pelajaran agama Islam,” kata Koordinator Divisi Advokasi eLSA, Yayan M Royani, di Semarang, Ahad, 9 November 2014.

Pernyataan Yayan ini menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, yang menyatakan warga negara yang tidak menganut enam agama resmi pemerintah boleh mengosongkan identitas agama. Pernyataan ini kemudian memicu perdebatan, karena Tjahjo dianggap hendak menghapus kolom agama di KTP.

Yayan mengakui, ada sekolah yang sudah mulai terbuka kepada siswa penganut penghayat kepercayaan dengan memberikan kebijakan membolehkan tidak mengikuti pelajaran agama. Namun dalam ijazah, siswa tersebut tetap harus memilih satu dari enam agama. “Karena pendidikan agama penghayat tidak ada dalam rapor dan ijazah,” kata Yayan.

Pencantuman kolom agama juga menuai persoalan terkait dengan pembangunan tempat ibadah atau sanggar bagi penghayat. Saat penganut penghayat kepercayaan mau mendirikan rumah ibadah namun, ditolak warga. Sebab, warga sudah tahu bahwa para penganut kepercayaan tersebut masih beridentitas agama di KTP. “Meskipun identitas agama dalam KTP itu bukan atas kehendak penghayat sendiri,” kata Yayan.

Persoalan lain terkait dengan problem pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan selama ini menjadi persoalan karena identitas agama di KTP. Meskipun aturan perkawinan bagi penghayat sudah ada namun, di lapangan masih ada problematika.

Yayan menyatakan aturan pencatatan perkawinan bagi penghayat salah satu syaratnya adalah adanya organisasi yang terdaftar dan mempunyai tetua adat. Nama tetua adat harus terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan punya sertifikat untuk menikahkan. Hasil pemantauan Elsa menemukan, tak semua penghayat berorganisasi dan ada tetua adat. Akibatnya, banyak penghayat yang tak bisa mencatatkan perkawinan. (TEMPO.CO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar