Senin, 03 November 2014

Sebut Subsidi BBM Bikin Rakyat Malas, Sudirman Said Dikritik


Menteri ESDM Sudirman Said (sumber: Antara/Vitalis Yogi Trisna)

Jakarta-ASPRA,
PERNYATAAN Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menyejahterakan rakyat serta subsidi menyebabkan kemalasan rakyat, dikritisi oleh sejumlah pihak.

Menurut ahli ekonomi-politik dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Yudhie Haryono, pernyataan tersebut sangat antikonstitusi.

Kata Yudhie, Sudirman Said harus mengingat bahwa seorang pejabat negara disumpah dengan kitab suci untuk menjalankan konstitusi. Sementara, di dalam konstitusi jelas disebut bahwa tugas negara adalah memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Karena itu pengelolaan BBM sebagai bagian dari 'bumi air dan SDA dikuasai dan dimiliki negara dan diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat', haruslah berpijak pada konstitusi.

"Bukan kepada mekanisme pasar. Ingat, bernegara adalah berkonstitusi, bukan tunduk pada pasar apalagi ideologi selain Pancasila. Karenanya, perekonomian harus berdasar pada demokrasi ekonomi. Bukan atas oligarki dan kartel," tegas Yudhie, di Jakarta, Senin (3/11).

Menurutnya, menyerahkan harga BBM ke pasar tanpa melihat problem utama; semisal kepemilikan asing, kebocoran diinisiasi mafia, dan korupsi kartel adalah mengkhianati konstitusi. Karena itu, mestinya menteri ESDM tahu bagaimana mengatasi problem subtansial lewat mekanisme konstitusional sebelum menawarkan solusi jangka pendek yang menguntungkan sedikit orang dan merugikan banyak warga negara.

Dia melanjutkan, bila Sudirman Said menyebut rakyat malas, tentu saja sangat tidak etis. Sebagai pejabat mestinya punya etika figur publik.

"Sebagai figur publik maka kalimat yang keluar dari mulutnya adalah motivasi dan solusi dari problem besar mereka. Ini penting dalam rangka mengukuhkan mental revolusioner seperti yang digagas presiden. Rakyat harus diberi contoh bagaimana menjadi masyarakat Pancasilais yang solutif, bukan diberi label dan gelar-gelar yang melecehkan," jelasnya.

Lebih jauh, dia menilai hendaknya sebagai pembantu presiden, seorang mentri memberi beberapa pilihan kebijakan, dan bukan menjebak dalam satu solusi seolah-olah tak ada solusi lain yang lebih manusiawi, akuntabel, dan konstitusional.

"Panggil dan dengar para pakar yang mengerti konstitusi dan ekonomi. Lalu buat beberapa opsi. Jangan jebak presiden dalam lingkaran setan yang juga menyesatkan rakyat," kata Yudhie yang termasuk salah satu pendiri Partai Amanat Nasional dan pengajar awal di Universitas Paramadina itu.

"Anda sebagai menteri pembantu presiden janganlah tunduk pada bos selain bos Anda. Bos Anda presiden maka berilah pilihan-pilihan rasional dalam kebijakan yang patuh pada konstitusi."
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/EPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar