Mencermati perkembangan akhir-akhir ini fenomena citizen journalism (jurnalisme warga) yang diharapkan dapat menjadi suara warga yang alami, dan mengembang di awal era reformasi, jangan sampai kemudian mengempis hanya karena dibayangi ketidak pahaman akan UU ITE (Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Oleh : Mung Pujanarko
Memang dalam ITE ini terutama bunyi Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasandan/atau pengancaman.
Dimana ketentuan pidananya termuat dalam pasal 45 adalah :
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Maka hal ini harus diperhatikan benar bagi penggiat aktivitas media sosial dan jurnalis warga yang aktif menulis dan mengunggah berita di internet, karena ranah media elektronik internet adalah salah satu wahana kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menulis topik apapun seperti : berita, feature, bahkan curhat seperti apa yang dilakukan oleh Pritta Mulyasari melalui curhatnya, namun mengapa curhat tersebut bisa dibidik serta ditembak dengan UU ITE sehingga berimbas Prita pernah masuk bui, masuk hotel prodeo.
Sebenarnya ‘kecelakaan’ penulisan jurnalistik seperti yang dialami Pritta dapat dihindarkan jika kita memahami rambu-rambu yang sudah ada. Rambu-rambu itu diantaranya adalah Kode Etik Jurnalis Warga, UU ITE dan UU KIP/ Kebebasan Informasi Publik. Apalagi jika kita dalami benar makna menulis dalam 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dalam bukunyaThe Elemen Jurnalisme yakni :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara. 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jadi setelah kita pahami UU ITE dan elemen journalisme jangan sampai terjadi mengempisnya antusiasme warga Indonesia untuk meramaikan ranah citizen journalism, karena diharapkan para jurnalis warga dapat memahami elemen jurnalisme yang dianut secara global ini
Karena itu ada beberapa pakem yang kita mantapkan terlebih dahulu agar paham benar untuk memulai tulisan di ranah jurnalistik, pakem yang utama adalah memilih : Topik.
Saudara, memilih topik tulisan, haruslah direncanakan dengan matang, kita tidak bisa menulis sebuah kasus besar tanpa investigasi, tanpa wawancara dengan banyak nara sumber yang relevan, dan tanpa memahami persoalannya. Intinya : jika ingin menulis kasus besar, anda harus punya banyak alat bukti berupa : rekaman wawancara dengan para sumber valid dan relevan, foto- foto lokasi kejadian, bila perlu foto-foto tersembunyi, dan bahkan wawancara dengan sejumlah nara sumber yang enggan disebutkan namanya, agar wawasan anda terhadap kasus yang anda tulis menjadi clear, menjadi semakin jelas alur kasus itu.
Saudara, saya memberi contoh, sebuah topik skandal seperti Skandal Water Gate yang melengserkan Presiden Amerika Richard Nixon, skandal ini tidaklah terkuak jika tidak ada dua wartawan The Washington Post yang gagah berani melakukan investigasi dan menurunkan laporannya. Duet wartawan The Post (istilah bagi The Washington Post) Woodward dan Bernstein inilah, yang mampu menurunkan laporan investigative yang sangat komprehensif, sangat lengkap. Keduanya berhasil mewawancarai seorang saksi kunci yang mengindikasikan keterlibatan Presiden Nixon, saksi itu diberi nama sandi “Deep Throat”.
Kedua wartawan itu memegang teguh rahasia nama sumbernya, sampai-sampai Presiden Nixon jatuh, keduanya tidak pernah dipermasalahkan. Tidak ada dalam catatan media yang menuntut atau menuding bahwa data kedua wartawan itu tidak valid. Nanti setelah 30 tahun kemudian, ternyata Deep Throat yang dimaksud itu tidak lain adalah Mark Felt yang merupakan orang kedua di Biro Penyelidik Federal (FBI) AS.
Begitulah, sebuah skandal diungkapkan secara professional oleh kedua wartawan itu. Namun hal itu terjadi di ranah media massa yang lahir di negeri liberal demokrat yang sudah tua, setua 200 tahun lebih,di Amerika.
Di Indonesia yang mengenyam demokrasi selama 65 tahun, dipotong masa pemerintahan Suharto 32 tahun, jadi kira - kira tinggal separuhnya saja demokrasi yang sesungguhnya, era kebebasan pers masih dipijak secara ragu- ragu meski oleh dunia pers itu sendiri.
Bagi diri saya pribadi -agar saya tidak bingung-, saya membagi Dunia Pers menjadi 2 secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Profesional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers profesional adalah wartawan profesional –pengertian profesional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni profesional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun profesional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mind set banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah. Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill, maka siapapun juga bisa menjadi jurnalis handal asalkan telah mendapatkan pelatihan dan berpengalaman, pasti skill-nya akan meningkat (analogi dunia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir namun dapat berkeahlian bak jurnalis profesional inilah Citizen Journalism berkembang.
Yang memprihatinkan jika konsep citizen journalism (jurnalis warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat (pasal 28 F UUD 1945), ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa jadi hanya dibayangi ketakutan oleh UU ITE. Jika citizen journalism ini surut, maka dikhawatirkan era ala Suharto jelas kembali lagi, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya
Kekhawatiran jurnalis warga tidak perlu berlebihan, jika anda memliki topik yang menarik. Dan apalagi jika anda memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang- orang yang penting pula, maka anda pun harus bersikap amatir yang berjiwa profesional, dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal anda memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen alias ‘people trail’ dan ‘paper trail’), juga bukti fisik yang menguatkan, dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, bukan fitnah, kemudian anda memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang anda tulis. Maka jika anda pun telah menulis dengan prinsip covering of both side atau telah berusaha meliput dari kedua sisi, maka topik hangat ini bisa anda tayangkan.
Ini berarti kita telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti-bukti yang dimiliki oleh jurnalis warga ini sudah sedemikian lengkapnya. Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan merasa gamang jika sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE.
Begitulah, karena sudah ada ranjau UU ITE di depan sana bagi jurnalis warga, jika anda para calon jurnalis warga maupun jurnalis warga yang masih belum mampu menulis topik berat dan bernuansa berita besar. Maka mulailah dengan topik yang paling membahagiakan diri anda dan orang lain, yakni orang yang anda liput, dan masyarakat yang membaca liputan anda. Seperti yang dilakukan oleh wartawan senior Bondan Winarno dalam ‘Wisata Kuliner’. Membahagiakan semuanya, yang punya warung senang, media senang, iklan ‘berenang’, dan pemirsa yang melihat juga cukup kenyang.
Namun jika selera anda keras dan berita anda seperti music heavy metal, keras dan membuat sakit telinga orang yang terlibat, maka chord atau nada anda harus pas, dalam arti sekali lagi bukti harus valid, relevan dan mampu menjadi alat bukti di pengadilan.
Ingat, slogan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ dibuat bukan untuk menakut- nakuti tapi harusnya menjadi penerang jiwa yang sadar bahwa argumentasi berdasar kebenaran dan akal sehat harus maju dan ditampilkan di muka pengadilan, guna melawan argumentasi dan penafsiran hukum dari pihak yang bersalah dan merugikan alam semesta kejujuran dan kebenaran. Tuhan Yang Maha Esa tidaklah tidur, dan orang yang curang pasti akan masuk jurang.
Penulis adalah Staf Pengajar di FISIKOM UNIDA, FIKOM Jayabaya
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasandan/atau pengancaman.
Dimana ketentuan pidananya termuat dalam pasal 45 adalah :
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Maka hal ini harus diperhatikan benar bagi penggiat aktivitas media sosial dan jurnalis warga yang aktif menulis dan mengunggah berita di internet, karena ranah media elektronik internet adalah salah satu wahana kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menulis topik apapun seperti : berita, feature, bahkan curhat seperti apa yang dilakukan oleh Pritta Mulyasari melalui curhatnya, namun mengapa curhat tersebut bisa dibidik serta ditembak dengan UU ITE sehingga berimbas Prita pernah masuk bui, masuk hotel prodeo.
Sebenarnya ‘kecelakaan’ penulisan jurnalistik seperti yang dialami Pritta dapat dihindarkan jika kita memahami rambu-rambu yang sudah ada. Rambu-rambu itu diantaranya adalah Kode Etik Jurnalis Warga, UU ITE dan UU KIP/ Kebebasan Informasi Publik. Apalagi jika kita dalami benar makna menulis dalam 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dalam bukunyaThe Elemen Jurnalisme yakni :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara. 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jadi setelah kita pahami UU ITE dan elemen journalisme jangan sampai terjadi mengempisnya antusiasme warga Indonesia untuk meramaikan ranah citizen journalism, karena diharapkan para jurnalis warga dapat memahami elemen jurnalisme yang dianut secara global ini
Karena itu ada beberapa pakem yang kita mantapkan terlebih dahulu agar paham benar untuk memulai tulisan di ranah jurnalistik, pakem yang utama adalah memilih : Topik.
Saudara, memilih topik tulisan, haruslah direncanakan dengan matang, kita tidak bisa menulis sebuah kasus besar tanpa investigasi, tanpa wawancara dengan banyak nara sumber yang relevan, dan tanpa memahami persoalannya. Intinya : jika ingin menulis kasus besar, anda harus punya banyak alat bukti berupa : rekaman wawancara dengan para sumber valid dan relevan, foto- foto lokasi kejadian, bila perlu foto-foto tersembunyi, dan bahkan wawancara dengan sejumlah nara sumber yang enggan disebutkan namanya, agar wawasan anda terhadap kasus yang anda tulis menjadi clear, menjadi semakin jelas alur kasus itu.
Saudara, saya memberi contoh, sebuah topik skandal seperti Skandal Water Gate yang melengserkan Presiden Amerika Richard Nixon, skandal ini tidaklah terkuak jika tidak ada dua wartawan The Washington Post yang gagah berani melakukan investigasi dan menurunkan laporannya. Duet wartawan The Post (istilah bagi The Washington Post) Woodward dan Bernstein inilah, yang mampu menurunkan laporan investigative yang sangat komprehensif, sangat lengkap. Keduanya berhasil mewawancarai seorang saksi kunci yang mengindikasikan keterlibatan Presiden Nixon, saksi itu diberi nama sandi “Deep Throat”.
Kedua wartawan itu memegang teguh rahasia nama sumbernya, sampai-sampai Presiden Nixon jatuh, keduanya tidak pernah dipermasalahkan. Tidak ada dalam catatan media yang menuntut atau menuding bahwa data kedua wartawan itu tidak valid. Nanti setelah 30 tahun kemudian, ternyata Deep Throat yang dimaksud itu tidak lain adalah Mark Felt yang merupakan orang kedua di Biro Penyelidik Federal (FBI) AS.
Begitulah, sebuah skandal diungkapkan secara professional oleh kedua wartawan itu. Namun hal itu terjadi di ranah media massa yang lahir di negeri liberal demokrat yang sudah tua, setua 200 tahun lebih,di Amerika.
Di Indonesia yang mengenyam demokrasi selama 65 tahun, dipotong masa pemerintahan Suharto 32 tahun, jadi kira - kira tinggal separuhnya saja demokrasi yang sesungguhnya, era kebebasan pers masih dipijak secara ragu- ragu meski oleh dunia pers itu sendiri.
Bagi diri saya pribadi -agar saya tidak bingung-, saya membagi Dunia Pers menjadi 2 secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Profesional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers profesional adalah wartawan profesional –pengertian profesional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni profesional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun profesional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mind set banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah. Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill, maka siapapun juga bisa menjadi jurnalis handal asalkan telah mendapatkan pelatihan dan berpengalaman, pasti skill-nya akan meningkat (analogi dunia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir namun dapat berkeahlian bak jurnalis profesional inilah Citizen Journalism berkembang.
Yang memprihatinkan jika konsep citizen journalism (jurnalis warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat (pasal 28 F UUD 1945), ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa jadi hanya dibayangi ketakutan oleh UU ITE. Jika citizen journalism ini surut, maka dikhawatirkan era ala Suharto jelas kembali lagi, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya
Kekhawatiran jurnalis warga tidak perlu berlebihan, jika anda memliki topik yang menarik. Dan apalagi jika anda memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang- orang yang penting pula, maka anda pun harus bersikap amatir yang berjiwa profesional, dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal anda memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen alias ‘people trail’ dan ‘paper trail’), juga bukti fisik yang menguatkan, dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, bukan fitnah, kemudian anda memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang anda tulis. Maka jika anda pun telah menulis dengan prinsip covering of both side atau telah berusaha meliput dari kedua sisi, maka topik hangat ini bisa anda tayangkan.
Ini berarti kita telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti-bukti yang dimiliki oleh jurnalis warga ini sudah sedemikian lengkapnya. Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan merasa gamang jika sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE.
Begitulah, karena sudah ada ranjau UU ITE di depan sana bagi jurnalis warga, jika anda para calon jurnalis warga maupun jurnalis warga yang masih belum mampu menulis topik berat dan bernuansa berita besar. Maka mulailah dengan topik yang paling membahagiakan diri anda dan orang lain, yakni orang yang anda liput, dan masyarakat yang membaca liputan anda. Seperti yang dilakukan oleh wartawan senior Bondan Winarno dalam ‘Wisata Kuliner’. Membahagiakan semuanya, yang punya warung senang, media senang, iklan ‘berenang’, dan pemirsa yang melihat juga cukup kenyang.
Namun jika selera anda keras dan berita anda seperti music heavy metal, keras dan membuat sakit telinga orang yang terlibat, maka chord atau nada anda harus pas, dalam arti sekali lagi bukti harus valid, relevan dan mampu menjadi alat bukti di pengadilan.
Ingat, slogan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ dibuat bukan untuk menakut- nakuti tapi harusnya menjadi penerang jiwa yang sadar bahwa argumentasi berdasar kebenaran dan akal sehat harus maju dan ditampilkan di muka pengadilan, guna melawan argumentasi dan penafsiran hukum dari pihak yang bersalah dan merugikan alam semesta kejujuran dan kebenaran. Tuhan Yang Maha Esa tidaklah tidur, dan orang yang curang pasti akan masuk jurang.
Penulis adalah Staf Pengajar di FISIKOM UNIDA, FIKOM Jayabaya