Jakarta-ASPRA,
WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto menilai, kewenangan DPR periode 2014-2019 semakin besar. Hal itu dianggap cukup mengerikan terkait potensi korupsi.
Bambang mencontohkan, hasil dari diubahnya UU MD3, mengakibatkan terbatasnya mekanisme kontrol terhadap DPR. Dalam hal ini, dihapusnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR.
Padahal, BAKN adalah alat kelengkapan DPR yang seharusnya menerima sekaligus menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan potensi kerugian negara.
“Jadi, temuan BPK siapa yang menindaklanjuti?,” tanya Bambang retoris dalam acara diskusi di Jakarta, Minggu (19/10).
Ditambah lagi, lanjut Bambang, hasil pemilihan di DPR, tujuh dari sembilan anggota BPK terpilih berasal dari partai politik (parpol). Sehingga, dianggap semakin mengerikan karena potensi konflik kepentingan semakin kuat.
Sementara itu, ujar Bambang, wakil rakyat periode 2009-2014 berhasil mewariskan adanya hak aspirasi bagi penerusnya yang dibarengi dengan minusnya mekanisme pertanggungjawaban.
“Teman-teman di DPR sekarang ada hak aspirasi, dana aspirasi. Tetapi, mekanisme kontrolnya bagaimana? Kalau dulu ada pertanggung jawaban di fraksi, kalau sekarang tidak ada,” ungkap Bambang.
Maka wajar jika Bambang menganggap kewenangan DPR kedepan cukup mengerikan dengan tidak adanya mekanisme untuk mengontrol.
Sebelumnya, Bambang telah menyebut bahwa sistem yang ada di parlemen masih bermasalah sehingga potensial menciptakan sikap dan perilaku koruptif dan kolusif.
Apalagi, adanya pengesahan revisi UU MD3 baru yang semakin memperluas kewenangan anggota dewan yang tidak disertai mekanisme akuntabiltas yang tinggi sehingga berpotensi melakukan penyalahgunaan kewenangan semakin meningkat.
“Lingkup dan indikator penggunaan wewenang tidak dirumuskan secara tegas dan jelas sehingga ada ruang diskresi dan manuver yang berlebihan dari setiap anggota,” ujar Bambang melalui pesan singkat, Kamis (25/9).
Ditambah lagi, tidak ada indikator, mekanisme dan sistem yang mengatur potensi konflik kepentingan sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang. Sehingga, terjadi proses transaksi kepentingan dan pasar gelap kekuasaan.
Kemudian, Badan Kehormatan (BK) di DPR dan DPRD disebut tak memiliki akuntabilitas untuk meniadakan potensi penyimpangan etik dan perilaku anggota parlemen.
“Setahu kami hingga saat ini, parlemen tidak memiliki program yang secara strategik ditujukan untuk membangun budaya anti korupsi dan kolusi yang berbasis pada kemaslahatan publik secara sistemik dan terstruktur,” ungkap Bambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar