Jakarta-ASPRA,
QANUN atau aturan hukum daerah Aceh yang disebut sebagai qanun jinayah dianggap banyak memuat subtansi yang bertentangan dengan hukum. Salah satunya adalah mengenai proses dan penjatuhan hukuman terhadap anak.
“Terdapat banyak kelemahan dan pertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia bahkan berpotensi merendahkan hak dan martabat manusia,” demikian kata Koordinator Advokasi Hak Sipil Politik Moch. Ainul Yaqin sebagaimana dirilis di Jakarta, Senin (6/10).
Qanun jinayah sudah ditandatangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh pada 27 September lalu. Pertentangan terjadi antara lain karena tidak mengaitkannya dengan beberapa dasar hukum terkait perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan dan Penghukuman Lain Yang Kejam, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil Politik, UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-Hak Anak. Padahal dalam pasal 2 huruf e Qanun Jinayah tegas menyatakan bahwa Penyelenggaraan Hukum Jinayat berasaskan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) “Namun faktanya beberapa regulasi terkait HAM tersebut diatas tidak di jadikan dasar hukum dalam qanun tersebut,” lagi katanya.
Sejumlah poin yang dicatat YLBHI dan dianggap bertentangan dengan HAM yaitu, pasal hukuman cambuk atau uqubat hudud di pasal 4 ayat (2) yang bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Ini juga dinilai tak sejalan dengan pasal 33 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Pertentangannya, karena seseorang yang terkena hukuman cambuk selain mengalami rasa sakit, juga mengalami penghinaan yang luar biasa karena di pertontonkan di khalayak ramai,” lanjutnya.
Kemudian mengenai penerapan hukuman cambuk terhadap anak dalam pasal 64 dan pasal 65 Qanun Jinayah. Dalam hal ini terjadi pertentangan dengan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pengenaan cambuk terhadap anak juga tidak sejalan dengan Konvensi Hak Anak pasal 19 ayat 1 karena negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental serta perlakuan kasar. Selain itu pertentangan juga ada dalam pasal 66 Qanun Jinayah mengenai penahanan. Hal ini menimbulkan tanda tanya karena penegakan Syariat Islam di Aceh berada di ranah Wilayatul Hisbah (WH) yang tidak mempunyai kewenangan melakukan penahanan. Hal tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh No. 01 tahun 2004 tentang kewenangan pembentukan Organisasi WH yang sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan namun hanya bersifat pengawasan, pembinaan, advokasi spiritual dan pelarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar